TEMPO Interaktif, BANDUNG - Kematian warga yang diduga meninggal setelah pengobatan kaki gajah di Kabupaten Bandung terus bertambah. Tercatat sementara, ada 8 orang dari sebelumnya 3 orang. "WHO dan Departemen Kesehatan yang menyelidiki kematian itu," kata Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung dr. Suhardiman, Jumat (13/11).
Ditemui Tempo di kantor Dinas Kesehatan Jawa Barat seusai melapor, dia mengatakan Badan Kesehatan Dunia dan Departemen Kesehatan mencari data ke sejumlah rumah sakit yang merawat warga setelah pengobatan massal anti kaki gajah pada 10 November lalu. Kunjungan itu diantaranya ke RSUD Majalaya, tempat yang paling banyak merawat pasien karena efek samping obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan Albendazol. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung tidak ikut menyelidiki karena rumah sakit, WHO, dan Depkes lebih berwenang. "Kan obatnya juga dari WHO, kalau kita hanya membagikan saja," ujarnya. Sumber berita
Delapan orang yang meninggal sesaat dan setelah masa pengobatan massal itu sejak Selasa hingga Kamis kemarin, ujar dia, adalah Danu (52) warga Desa Majakerta Kecamatan Majalaya, Toto (69) dan Nandang (47) warga Desa Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran, Nonoh (40) penduduk Desa Cileunyi Kulon Kecamatan Cileunyi, Ahmad Juana (47) warga Kecamatan Bojongsoang, dan Lilis (52) warga Kecamatan Banjaran. Selain itu juga Omay Komarudin (64) warga Kampung Bojongsentul Kecamatan Banjaran, dan Apeng (40) warga Kampung Babakan Cebek Kecamatan Soreang.
Suhardiman mengatakan, dua orang meninggal sebelum meminum obat anti kaki gajah, diantaranya karena terjatuh dari pohon. Sedangkan enam orang lainnya dilaporkan sempat meminum obat itu. Dari hasil rontgen dan sampel darah pasien ketika sempat dirawat di RS Majalaya dan Soreang sebelum meninggal, mereka ternyata diketahui mengidap penyakit kronis seperti jantung dan darah tinggi. Gangguan itu selama ini hanya dirasakan dan ada juga yang tidak mengetahuinya sama sekali. "Ketahuannya baru di rumah sakit," ujarnya.
Tapi dia membantah kematian itu karena dipicu efek samping obat. Padahal sesuai anjuran, pengidap penyakit kronis itu dilarang meminumnya, begitu juga untuk anak dibawah usia 2 tahun, ibu hamil atau sedang menyusui, serta pasien diabetes. Penderita penyakit kronis, katanya, dibolehkan meminum obat asal kondisinya sedang baik. "Kasus itu bisa dibilang kejadian ikutan pasca minum obat (KIPMO)," katanya.
Sejauh ini, jumlah peminum obat anti kaki gajah itu baru mencapai 70 persen dari 2,7 juta warga sasaran di seluruh kecamatan. Sedangkan yang sudah dirawat di sejumlah rumah sakit sejak Selasa lalu sampai Jumat pukul 9 pagi tadi sudah mencapai 800 orang lebih. Keluhan warga paling banyak adalah mual, muntah, disertai pusing. Soal membludaknya pasien itu, kata dia, berarti sudah banyak warga yang selama ini mengidap cacing kaki gajah di tubuhnya dan kini mulai tersembuhkan.
Sedangkan Direktur Umum Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin dr Cissy RS. Kantaprawira mengatakan, pihaknya sudah membentuk tim untuk membantu penanganan kasus dampak pengobatan massal kaki gajah itu. Beranggotakan 5 dokter spesialis penyakit dalam, anak, farmakologi, dan forensik, tim mulai bekerja sejak Rabu lalu. Khusus penyelidikan sebab kematian, dokter forensik tidak melakukan otopsi karena jasad langsung dimakamkan keluarganya. "Paling kami hanya bisa melakukan otopsi herbal, mencari tahu obat apa saja yang dipakai dan riwayat kesehatannya," ujarnya saat dihubungi Tempo.
Pada 10 Nobember lalu, Bupati Bandung Obar Sobarna mencanangkan pengobatan massal untuk memberantas penyakit kaki gajah di wilayahnya. Saat ini tercatat ada 31 pengidap kaki gajah di 15 daerah endemis dari 31 kecamatan. Selang beberapa jam setelah pengobatan dengan cara pembagian 3 tablet Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan sebutir Albendazol itu oleh 12 ribu kader PKK dan Posyandunssrta tokoh masyarakat, puluhan warga yang mengeluhkan efek samping obat bergegas memeriksakan diri ke rumah sakit.
Ditemui Tempo di kantor Dinas Kesehatan Jawa Barat seusai melapor, dia mengatakan Badan Kesehatan Dunia dan Departemen Kesehatan mencari data ke sejumlah rumah sakit yang merawat warga setelah pengobatan massal anti kaki gajah pada 10 November lalu. Kunjungan itu diantaranya ke RSUD Majalaya, tempat yang paling banyak merawat pasien karena efek samping obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan Albendazol. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung tidak ikut menyelidiki karena rumah sakit, WHO, dan Depkes lebih berwenang. "Kan obatnya juga dari WHO, kalau kita hanya membagikan saja," ujarnya. Sumber berita
Delapan orang yang meninggal sesaat dan setelah masa pengobatan massal itu sejak Selasa hingga Kamis kemarin, ujar dia, adalah Danu (52) warga Desa Majakerta Kecamatan Majalaya, Toto (69) dan Nandang (47) warga Desa Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran, Nonoh (40) penduduk Desa Cileunyi Kulon Kecamatan Cileunyi, Ahmad Juana (47) warga Kecamatan Bojongsoang, dan Lilis (52) warga Kecamatan Banjaran. Selain itu juga Omay Komarudin (64) warga Kampung Bojongsentul Kecamatan Banjaran, dan Apeng (40) warga Kampung Babakan Cebek Kecamatan Soreang.
Suhardiman mengatakan, dua orang meninggal sebelum meminum obat anti kaki gajah, diantaranya karena terjatuh dari pohon. Sedangkan enam orang lainnya dilaporkan sempat meminum obat itu. Dari hasil rontgen dan sampel darah pasien ketika sempat dirawat di RS Majalaya dan Soreang sebelum meninggal, mereka ternyata diketahui mengidap penyakit kronis seperti jantung dan darah tinggi. Gangguan itu selama ini hanya dirasakan dan ada juga yang tidak mengetahuinya sama sekali. "Ketahuannya baru di rumah sakit," ujarnya.
Tapi dia membantah kematian itu karena dipicu efek samping obat. Padahal sesuai anjuran, pengidap penyakit kronis itu dilarang meminumnya, begitu juga untuk anak dibawah usia 2 tahun, ibu hamil atau sedang menyusui, serta pasien diabetes. Penderita penyakit kronis, katanya, dibolehkan meminum obat asal kondisinya sedang baik. "Kasus itu bisa dibilang kejadian ikutan pasca minum obat (KIPMO)," katanya.
Sejauh ini, jumlah peminum obat anti kaki gajah itu baru mencapai 70 persen dari 2,7 juta warga sasaran di seluruh kecamatan. Sedangkan yang sudah dirawat di sejumlah rumah sakit sejak Selasa lalu sampai Jumat pukul 9 pagi tadi sudah mencapai 800 orang lebih. Keluhan warga paling banyak adalah mual, muntah, disertai pusing. Soal membludaknya pasien itu, kata dia, berarti sudah banyak warga yang selama ini mengidap cacing kaki gajah di tubuhnya dan kini mulai tersembuhkan.
Sedangkan Direktur Umum Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin dr Cissy RS. Kantaprawira mengatakan, pihaknya sudah membentuk tim untuk membantu penanganan kasus dampak pengobatan massal kaki gajah itu. Beranggotakan 5 dokter spesialis penyakit dalam, anak, farmakologi, dan forensik, tim mulai bekerja sejak Rabu lalu. Khusus penyelidikan sebab kematian, dokter forensik tidak melakukan otopsi karena jasad langsung dimakamkan keluarganya. "Paling kami hanya bisa melakukan otopsi herbal, mencari tahu obat apa saja yang dipakai dan riwayat kesehatannya," ujarnya saat dihubungi Tempo.
Pada 10 Nobember lalu, Bupati Bandung Obar Sobarna mencanangkan pengobatan massal untuk memberantas penyakit kaki gajah di wilayahnya. Saat ini tercatat ada 31 pengidap kaki gajah di 15 daerah endemis dari 31 kecamatan. Selang beberapa jam setelah pengobatan dengan cara pembagian 3 tablet Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan sebutir Albendazol itu oleh 12 ribu kader PKK dan Posyandunssrta tokoh masyarakat, puluhan warga yang mengeluhkan efek samping obat bergegas memeriksakan diri ke rumah sakit.
0 komentar:
Posting Komentar